Cari Artikel di blog Media Belajar Siswa

Loading
Untuk mencari artikel cukup ketikan kata kunci dan klik tombol CARI dengan mouse -Jangan tekan ENTER.

Perkembangan Bahasa Melayu di Nusantara

Sejarah kebudayaan Islam Indonesia
Penggunaan Bahasa Melayu tidak hanya berlangsung di Kerajaan Aceh, tapi juga tersebar di hampir semua wilayah di Nusantara. Sejalan dengan proses Islamisasi yang makin intensif dan keterlibatan wilayah-wilayah di Nusantara dalam perdagangan internasional, maka Bahasa Melayu semakin luas digunakan di Nusantara.
Tidak hanya itu, Bahasa Melayu juga mulai digunakan oleh orang-orang Eropa (Belanda dan Inggris) sebagai bahasa pengantar di bidang administrasi dan sarana komunikasi dengan orang pribumi di seluruh wilayah penjajahan Inggris dan Belanda khususnya di daerah-daerah wilayah kerajaan Melayu.

Perkembangan Bahasa Melayu ini selanjutnya melahirkan proses interaksi budaya yang semakin intensif. Di sini, jaringan komunitas Muslim—yang berbasis di kerajaan—tidak hanya terbatas mengislamkan, tapi mulai diikat dengan kesamaan Bahasa Melayu, teks agama (kitab) dan aksara Jawi.
Teks Tajus as Salatin, misalnya ditulis Bukhari Al-Jauhari di Aceh pada 1603, teks tersebut tidak hanya berpengaruh di dunia Melayu, lebih-lebih di Kerajaan Aceh, tapi juga di kerajaan lain di Nusantara.
Peter Carey mencatat bahwa teks Taj as-Salatin telah disalin di Keraton Yogyakarya pada 1831 dan digunakan atas perintah Sultan Hamengkubuwana I—sebagai pegangan elit politik di istana.
Lebih dari itu, teks Taj as-Salatin juga telah menginspirasi penulisan teks Budi Istirahat Indra Bustanil Arifin di Makassar, Sulawesi Selatan, dengan fungsi yang sama dengan di Yogyakarta.
Batu Walio-peninggalan kerajaan Buton
Lokasi tempat menabuh gendang, saat pelantikan raja
Kasus Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara menghadirkan satu bukti penting dari proses perkembangan Bahasa Melayu di Nusantara. Bahasa Melayu menjadi bahasa resmi kerajaan, yang digunakan untuk diplomasi politik dan perdagangan tapi juga untuk berbagai teks sosial-keagamaan.
Koleksi naskah Buton menunjukkan hal tersebut.
Dari 301 naskah yang berhasil dihimpun, naskah yang ditulis dalam Bahasa Melayu berjumlah sangat besar, 102 naskah,
jauh di atas naskah berbahasa Arab (84 naskah) dan bahasa lokal Wolio (75 naskah).

Berdasarkan keterangan yang tertera dalam kolofon naskah, dipastikan naskah-naskah berBahasa Melayu menunjukkan usia lebih tua dari pada naskah naskah berbahasa Arab dan Wolio.
Naskah berBahasa Melayu ditulis pada abad ke-17, ke-18, sedangkan naskah-naskah berbahasa Arab dan Wolio ditulis pada abad ke-19.

Masih terkait Kerajaan Buton, bukti lain yang juga penting dicatat di sini adalah surat-surat Sultan Buton untuk pejabat pemerintahan Inggris dan Belanda.
Berdasarkan risetnya di perpustakaan Universits Leiden, Suryadi mencatat dan menganalisis setidaknya tiga surat yang dibuat Raja Buton untuk pemerintah Belanda, yakni surat atas nama Sultan Dayyan Asraruddin, penguasa Buton ke-27 (1799-1822) yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.

Surat lainnya atas nama Sultan Kaimuddin I, penguasa Buton ke-29 yang berkuasa hingga 1851. Surat-surat tersebut merupakan bagian dari koleksi surat resmi Raja Buton untuk pejabat Kerajaan Belanda yang tersimpan
di perpustakaan Universitas Leiden.

Perpustakaan Bodleian di Oxford, Inggris, bahkan menyimpan koleksi surat seorang kapitalao (kapiten laut) Kerajaan
Buton pada abad ke-17 (kira-kira 1667), pada masa kekuasaan Sultan Buton ke-10, Sultan Adilik Rahim (ata La Limpata atau Oputa Musabuna) pada 1664-1669.

istana raja buton
Istana Kerajaan Buton-Sulawesi Tengara
Hal terpenting untuk dicatat adalah bahwa surat tersebut ditulis dalam Bahasa Melayu, seperti halnya naskah dan dokumen kerajaan lain.
Ini menunjukkan bahwa Bahasa Melayu bukan saja telah tersebar luas di Nusantara, tapi juga telah menghubungkan mereka, dalam konteks ini masyarakat Kerajaan Buton, dengan masyarakat lain di Nusantara yang menggunakan Bahasa Melayu.

Kutipan berikut adalah surat Sultan Buton untuk Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, dengan corak Bahasa Melayu yang pada prinsipnya tidak berbeda dengan Bahasa Melayu yang berkembang di Nusantara.

"Bahwa warkat al-ikhlas serta tabe-tabe banyak-banyak akan tanda harap dan percaya yaitu daripada Paduka Anakanda Sri Sultan Raja Buton dengan segala wazir menteri-menterinya, melayangkan kertas sekeping, datang ke bawah Hadirat Paduka Ayahanda Kompeni, Tuan Her Gurnadur Jenderal dan Raden van Indie di Betawi, Insya Allah Taala barang dilanjutkan usia umur zamannya, beroleh sehat dan walafiat dengan sejahtera jua adanya".

Kehadiran Bahasa Melayu di Buton memang tidak bisa dipisahkan dari sejarah negeri tersebut, di mana proses berdirinya menjadi sebuah kerajaan melibatkan orang-orang Melayu Johor dan Sumatera yang bermigrasi ke sana.

Meski demikian, hal terpenting untuk dikatakan di sini adalah bahwa pengalaman Buton mengekspresikan kondisi di mana Bahasa Melayu telah sedemikian mapan sebagai lingua franca di Nusantara.
Dengan demikian, Buton di timur Nusantara menjadi terhubungkan dengan masyarakat di belahan lain di Nusantara.
Tidak hanya sekadar bahasa, masyarakat Nusantara juga terhubungkan satu sama-sama lain melalui pemikiran keagamaan dalam kitab Jawi, di samping kitab berbahasa Arab, yang juga tersebar luas dan menjadi sumber pengetahuan keagaman mereka.

Catatan seorang bernama Imam Ahmad—Imam untuk Kesultanan Bacan di Maluku Utara, yang ditemui Snouck Hurgronje di Mekkah pada 1884—penting dicatat.

Sebagaimana ditunjukkan Laffan,62Imam Ahmad memberi Snouck Hurgronje daftar kitab yang dibaca di bagian timur negeri di bawah angin, wilayah kekuasaan Ternate, Tidore dan Bacan.

Di samping kitab berbahasa Arab yang tersebar luas di pesantren sebagaimana dicatat van den Berg63, Imam Ahmad mencatat sejumlah judul kitab Jawi karangan ulama Nusantara dari negeri berBahasa Melayu, di antaranya adalah karangan Abdurrauf Singkel, Mir’at al-Thulab, berupa saduran dalam Bahasa Melayu dari kitab oleh al-Anshari Fath al-Wahab.
Kitab lain adalah Dhur al-Thamim, yang menurut Snouck Hurgrnje kemungkinan ditulis Muhammad Nafis al-Banjari.

Kitab karangan ulama Patani, Daud al-Fatani (Daud bin Abdullah bin Idris al-Fatani) juga termasuk dalam daftar yang dibuat Iman Ahmad, yakni dua kitabnya tentang fiqih: Fara’id ghayat al-taqrib fi al-irth wa al-tansib (tentang hukum pembagian waris) dan Idah al-bab li murid al-nikah bi al-sawab (tentang nikah).

Kitab Jawi berikutnya adalah Sabil al-muhtadin li al-tafaqquh fi amr alDin (tentang tata cara belajar agama) oleh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari dan Hidayat al-Salikin (petunjuk utuk pencari ilmu)—berupa gubahan dalam Bahasa Melayu dari kitab al-Ghazali Bidayat al-Hidayah—yang ditulis oleh Abdussamad al-Palimbani.


Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas, Bahasa Melayu berikut kitab Jawi tidak hanya penting dari sudut pandang sejarah—bahwa ia telah menjadi satu kategori dalam studi kebudayaan Islam di Indonesia—tapi juga dalam kerangka pembentukan apa yang disebut sebagai ecumene Islam Nusantara.
Melayu Bahasa Melayu, masyarakat Muslim yang tersebar di berbagai wilayah di Nusantara dihubungkan satu sama lain. Dan, diperkuat melalui kitab Jawi, hubungan tersebut berada dalam satu terma yang berasal dari pesan universal Islam.

Proses inilah yang secara perlahan dan melalui proses sejarah yang panjang menjadi basis pembentukan apa yang oleh Andersdon disebut sebagai “imagined community”.

Jika pemerintah kolonial mewariskan negara Indonesia, Bahasa Melayu telah meletakkan dasar yang kokoh bagi terbentuknya Indonesia
sebagai sebuah bangsa. Hal ini terjadi ketika Bahasa Melayu diadopsi menjadi bahasa nasional Indonesia.
Jajat Burhanudin

- Sumber : Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia (Jilid 4)- Sastra dan Seni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(Terima kasih sudah mau berkunjung ke Blog Arya-Devi sudut kelas media belajar siswa)
Komentar Anda sebagai masukan berharga dan juga sebagai jalinan interaksi antar pengguna internet yang sehat. Dan jika berkenan mohon dukungannya dengan meng-klik tombol G+.

Jika berkenan dengan artikel di Blog ini,Mohon dukungan dengan klik G+ di Aryadevi Sudut Kelas